Sayyidina Umar dan Hobi Pejabat Masa Kini

Oleh: Usman Kusmana
Menyalurkan hobi atau kesenangan diri terkait satu hal tentu saja milik dan hak semua orang.
Mau dia rakyat atau pejabat. Ada banyak macam hobi yang biasa dilaksanakan oleh para
pejabat baik, di tingkat pusat maupun daerah. Ada pejabat yang hobi main golf, memancing,
touring, yang tentu saja terkadang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Seorang pejabat juga tentu saja manusia yang butuh hiburan dan refreshing atas kepenatan
berbagai kesibukan dalam menjalankan tugasnya. Tapi hiburan apa dan bagaimana dulu
model dan pelaksanaannya?
Hiburan yang sifatnya personal dan keluarga mungkin wajar dan biasa saja. Akan tetapi kalau
hobinya berjamaah dengan menggerakan pejabat dinas, badan, kantor,  kementerian yang ada
di lingkup tanggung jawabnya, apalagi dengan mengikutsertakan kalangan pengusaha,
kontraktor, pemborong, rekanan pemda, tentu saja agak kurang elok.
Sebagai contoh, seorang bupati atau wali kota yang punya hobi otomotif, entah itu jeep
adventure, motocross, atau club kendaraan seperti hijet 1000, turungtung, vespa dan lain-lain.
Ketika sang kepala daerah senang barang itu, semua orang sibuk mencari kendaraan lama
tersebut, ramai-ramai mencarinya, dan membelinya, agar bisa gabung bareng-bareng dengan
bosnya.
Kalau kegiatannya dijalankan dengan model touring jarak jauh, ada yang dalam daerah, luar
daerah dan luar provinsi. Berangkat Jumat pulang Ahad. Seakan ada rasa bersalah dan
berdosa kalau seorang pejabat tak ikut nongkrong dan jalan bareng dengan group yang hobi
bosnya.
Mengikutinya adalah bagian dari bentuk loyalitas. Apakah dia pejabat ataupun rekanan yang
berkonsekuensi terhadap posisi dan kapling pekerjaannya. Kalaupun pejabat itu tak ikut
bisik-bisiknya yang penting bisa ikut urunan dan kontribusi untuk jalannya kegiatan
penyaluran hobi bosnya itu. Wallahu A'lam benar tidaknya.
Kalau kita mengaca pada kisah para pemimpin masa lalu, apalagi pemimpin zaman sahabat
Rasulullah Shallalahu’alaihi wasallam. Hobi dan kebiasaan pemimpin waktu itu adalah
berkeliling dari kampung ke kampung untuk melihat kondisi ril rakyatnya, tanpa cukup
dengan laporan anak buahnya.
Bahkan Sayyidina Umar Bin Khattab pernah suatu saat menemukan seorang ibu yang sedang
menyalakan tungku seperti sedang memasak, sementara anaknya tak berhenti menangis
hingga dia tertidur. Sayyidina Ummar melihat itu menghampiri dan bertanya " Apa gerangan
yang engkau masak  itu?"

"Aku menggodok batu, untuk mendiamkan anakku yang lapar, untuk membuatnya supaya
bisa tidur. Aku tak punya apapun untuk aku dan anakku makan,” jawab ibu itu.
“Apakah khalifah tidak memperhatikanmu,” tanya Umar
“Sungguh khalifah itu zalim pada kami rakyatnya, sehingga kami tak lagi sanggup makan,”
jawab si ibu.
Mendengar jawaban sang ibu itu Umar langsung pergi ke baitul maal dan memanggul sendiri
sekarung gandum untuk dibawa ke ibu yang tadi. Pengawal yang mengiringinya menawarkan
diri untuk memanggulkan gandum tersebut.
“Apa kamu mau di akherat nanti memikul tanggung jawab atas amanah yang diberikan
padaku?" sergah Umar.
Sesampainya di rumah ibu tadi dan diberikannya sekarung gandum itu Umar berkata, “Ayo
masak gandum ini. Beri makan anakmu.”
“Terima kasih, tuan. Tuan baik sekali tak seperti khalifah. Memang tuan ini siapa?”
“Saya Umar, khalifah yang kata ibu zalim tadi.”
Lalu gemetarlah ibu tadi saking ketakutannya. Dengan penuh kelembutan, Umar
menenangkan dan menghibur ibu tersebut dan meminta maaf atas kondisi yang menimpanya,
karena tak terpantau oleh dirinya sebagai khalifah.
Alangkah elok rasanya, kalau pejabat masa kini belajar dari Sayyidina Umar bin Khattab.
Kalau libur kerja itu, keliling keluar masuk kampung, melihat kondisi masyarakatnya. Tak
langsung percaya dan hanya cukup menerima laporan dari pejabat di bawahnya.
"Memanggul" sendiri perbekalan jika di lapangan ditemukan ada rakyat yang kekurangan
makan. Tak usah rame-rame dengan menggiringkan puluhan dan ratusan pejabat dan
rekanan. cukup beberapa orang saja, bisa naik sepeda atau motor trail kalau naik turun
gunung agar effektif. Kontribusi pejabat dan rekanan itu bisa dialokasikan untuk lebih banyak
membantu rakyat di lapangan.
Hobi yang tentu saja akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan konvoi-konvoi tidak jelas
yang kesannya lebih pada laku hura-hura, mendekatkan pada kolusi penguasa-pengusaha.
Hobi yang melekat dengan pemenuhan dan penunaian amanah serta tanggung jawab terhadap
rakyat akan lebih menyenangkan dan menyelamatkan. Sebagaimana ungkapan Umar tadi,
kelak di akherat semua pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban akan kepemimpinan
dan amanah dari rakyat yang dipimpinnya. ***

Tinggalkan Balasan