Drs. H. Yono Kusyono, M.Pd : Sempat Tak Tertarik Masuk Legislatif

Tak lama setelah pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, 2013, Yono Kusyono ditawari untuk
maju dalam pemilihan legislatif 2014 melalui PDI Perjuangan. Tawaran itu tidak langsung
direspons. Kurang tertarik.
Ia ingin istirahat setelah puluhan tahun menjadi abdi negara. Ingin menikmati masa tua dengan
kumpul bersama keluarga. Saat masih aktif jadi PNS, waktu bersama keluarga banyak tersita
pekerjaan. Bahkan, tak jarang harus tugas luar daerah, sampai ke luar negeri. Negara-negara di
Asia sampai Eropa pernah disambanginya. Dinas kantor. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah
ia bayangkan.
Jangankan berangkat ke luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah. Sejak
kecil, ia dan tujuh saudara lainnya hidup dalam serbakekurangan. Ayahnya, Amar Komar, yang
merupakan tentara, bersama istri, E. Mayati, harus pandai-pandai mengatur gaji agar bisa cukup.
Tak jarang, pinjam uang dilakukan, karena ternyata pendapatan tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Di tengah kondisi yang pas-pasan itu, mereka punya tekad kuat untuk menyekolahkan anak-
anaknya. Minimal sampai SMA. Begitupun Yono. Sekolahnya sampai SMK. “Tidak terpikir
untuk dilanjut kuliah, karena melihat kondisi ekonomi keluarga. Makanya memilih bekerja. Jadi
tenaga honorer di Depdikbud,” ujarnya.
Nasib baik datang. Setahun kemudian, 1979, ia diangkat menjadi PNS. Ditugaskan di SMAN 1
Tasikmalaya sebagai staf tata usaha. Sejak saat itu, kariernya perlahan naik. Apalagi setelah
menyelesaikan S-1 dan S-2 di Unsil.
Di antara sekian banyak pengalaman kerja, salah satu yang paling membuatnya berkesan dan
masih membekas sampai sekarang adalah dua kali diundang ke Istana Presiden, era Soeharto dan
Megawati, karena keberhasilannya menjalankan program Pendidikan Luar Sekolah.
Selain itu, ia diundang ke Jerman selama tiga bulan dan membuat makalah tentang
pemberantasan buta huruf. Pulang dari sana, ia diberi apresiasi sekitar Rp 250 juta. “Dengan
uang itulah kami bisa ibadah haji. Berangkat bersama keluarga. Bukan hanya saya dengan istri,
tapi orangtua, mertua, adik ibu, dan kakak. Alhamdulillah. Sebelumnya saya tidak pernah
membayangkan akan mendapatkan uang sebanyak itu,” tuturnya.

Suami Cucu Sumarwati (Alm) dan ayah tiga anak itu mendapat banyak hikmah dari perjalanan
hidup yang sangat berwarna. Lahir dan besar di keluarga sangat pas-pasan tapi bisa mengubah
takdir menjadi lebih baik.
Didikan orangtua membekas kuat dalam dirinya, terutama tentang agama. “Saya ingat betul,
waktu itu, kalau kami mau berangkat sekolah, ibu jarang memberi uang jajan. Hanya nasi yang
digoreng. Gaji ayah yang terbatas habis pakai biaya sehari-hari. Kami sering disuruh shaum
Senin dan Kamis,” paparnya.
Kondisi itu tak membuat Yono muda patah arang. Ia paham kondisi keuangan keluarga. Namun,
hidup harus terus berjalan. Bergerak untuk membuat keadaan lebih baik. “Semua yang tidak
terpikirkan akan terjadi, kalau kita kerja keras dan gigih Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberi jalan keluar,” tandasnya.
Keyakinan itu pula yang membuat Yono bisa mendapat suara banyak dalam pileg 2014 lalu,
sehingga bisa masuk ke gedung parlemen. Padahal, sebelumnya ia tidak tertarik menjadi anggota
legislatif.
Setelah sah ditetapkan sebagai calon anggota legislatif, hampir tiga bulan ia tidak berbuat apa-
apa. Tidak berkampanye atau menemui masyarakat di dapil 2. Namun, berkat dorongan Ketua
DPC PDI Perjuangan, Ade Sugianto, ia akhirnya terjun ke masyarakat. Mengetuk pintu
silaturahmi, bertatap muka tanpa mengajak masyarakat untuk memilih dirinya.
Di luar dugaan, ia mendapat suara banyak. Mitospun pecah. Yono adalah caleg dari PDI
Perjuangan yang berhasil memecahkan mitos bahwa mantan PNS tidak pernah menang, nomor
besar (waktu itu Yono nomor urut 7) dan caleg yang bukan dari daerah setempat selalu kalah.
“Saya sangat berterima kasih kepada Pak Ade Sugianto selau ketua DPC PDI Perjuangan yang
telah memberi kesempatan dan membimbing saya yang baru pertama kali terjun ke dunia
politik,” ucapnya. ***

Tinggalkan Balasan